Berita UtamaHukrimKesehatanManadoSosial

CLCC ALSA Unsrat 2025 Telaah Aspek Hukum dan Psikologi terkait Perlindungan Kesehatan Mental, Stop Bullying!

ALSA Care and Legal Coaching Clinic (CLCC), Local Chapter Universitas Sam Ratulangi Tahun 2025. (Foto: Ridho L Tobing)ALSA Care and Legal Coaching Clinic (CLCC), Local Chapter Universitas Sam Ratulangi Tahun 2025. (Foto: Ridho L Tobing)
ALSA Care and Legal Coaching Clinic (CLCC), Local Chapter Universitas Sam Ratulangi Tahun 2025. (Foto: Ridho L Tobing)

Manado, SUDARA.ID – Asian Law Student Association, Local Chapter Universitas Sam Ratulangi (ALSA LC Unsrat), melalui penyelenggaraan ALSA Care and Legal Coaching Clinic (CLCC) 2025, melakukan penelaahan aspek hukum dan psikologi terkait dengan perlindungan kesehatan mental bagi setiap warga negara Indonesia.

Tema, “Legal Empowerment for Mental Wellness: Knowing Your Rights, Breaking the Stigma”, dipilih sebagai bentuk respon empati dan kepedulian ALSA, atas isu sosial kemasyarakatan terkait maraknya perilaku bullying dikalangan Generasi Z (Gen Z), yang berdampak buruk pada terganggunya kesehatan mental para korbannya.

Bertempat di Ballroom JLE’S Boutique Hotel Manado, Sabtu (22/11/2025), CLCC ALSA Unsrat 2025 yang secara resmi dibuka oleh Vice President of Financial Affairs ALSA National Chapter Indonesia, Gerald Laatung ini, hadir untuk membedah, bagaimana hukum memandang kesejahteraan psikologis warganya berlandaskan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari pencegahan, cara menghadapinya, sampai bagaimana hukum dan kebijakan publik melindungi hak seseorang sebagai warga negara untuk hidup dengan mental yang sehat.

Sebagaimana yang diungkapkan Direktur ALSA LC Unsrat, Resaincha Pasaribu, dalam bagian dari sambutannya, “Legal Empowerment for Mental Wellness: Knowing Your Rights, Breaking the Stigma, bermakna, bahwa kesehatan mental itu bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga hak-hak kita sebagai manusia yang kita miliki. Kita sadar, sebagai manusia, kita berhak diperlakukan dengan baik, dan tidak gampang dihakimi oleh orang lain,” ujarnya.

Resa mengungkapkan, ALSA CLCC ini digelar sebagai wadah implementasi pilar ALSA, legally skilled dan socially responsible, atas berbagai permasalahan sosial di lingkungan masyarakat.

“Kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian kami, ALSA LC Unsrat dalam isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat, tapi masih berkesinambungan dengan pengaplikasian hukum yang yang ada di dalamnya,” ungkapnya.

“Diharapkan dengan diangkatnya tema ini, dapat menambah wawasan masyarakat terkait kesehatan mental, mulai dari pencegahan, cara menghadapinya, sampai bagaimana hukum dan kebijakan publik melindungi hak kita untuk hidup dengan mental yang sehat,” tandasnya.

Direktur ALSA LC Unsrat, Resaincha Pasaribu. (Foto: Ridho L Tobing)

Secara epik, tema ini dikembangkan Pemateri pertama pada acara ini, Queency Gloria Sumeke S.H, LL.M, Dosen dari Fakultas Hukum (FH) Unsrat, yang membawakan materi bertajuk, “Law as A Protection for Your Mental Health”, yang membahas tentang bagaimana hukum melindungi warga negara, dari suatu peristiwa yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental.

“Artinya adalah bagaimana hukum itu memberikan proteksi, proteksinya bukan dari saat terjadinya pelanggaran terhadap kesehatan mental itu sendiri, tapi dimulai dari tahap preventif sampai kepada sanksinya, ketika ada yang melakukan pelanggaran terhadap gangguan kesehatan mental seseorang,” jelas Queency.

Queency mengungkapkan, bahwa saat ini, hak sebagai warga negara untuk memiliki kesehatan mental yang baik, telah memiliki payung hukum yang jelas berdasarkan undang-undang.

“Jadi sebenarnya, hukum itu sudah memberikan perlindungan yang cukup dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan, (dimana) kesehatan jiwa itu masuk dalam satu sistem hukum nasional di Indonesia. Jadi dia sudah tidak tersendiri lagi. Dulunya diakan tersendiri, dianggap bukan suatu penyakit, tetapi sekarang itu sudah dianggap menjadi suatu penyakit,” ucap Queency.

Menurut Queency, dengan adanya dasar perlindungan hukum tersebut, upaya penegakan hukum bisa dilakukan, bila suatu tindakan atau perilaku, berdampak pada terganggunya kesehatan mental seseorang.

“Hukum itu, saat ini sudah memberikan perlindungan yang cukup terkait dengan bagaimana sebenarnya kesehatan mental itu sendiri, sebagaimana yang ditulis dalam UU No. 17 tahun 2023,” tuturnya.

“Tugasnya adalah, bagaimana enforcement-nya, bagaimana penegakan hukumnya. Itu adalah tugas bukan hanya dari pemerintah saja, tetapi juga tugas dari setiap komunitas masyarakat. Jadi masyarakat itu memiliki andil besar terkait bagaimana penegakan hukum, bagaimana perlindungan kesehatan mental seseorang,” tandas Queency.

“Sekarang kan anak-anak Gen Z itu banyak yang merasa bahwa kesehatan mentalnya itu terganggu, mereka sering mendapatkan tekanan, dan itu sebenarnya adalah faktor sosial yang seharusnya kita terima, bukan kita merasa Gen Z ini terlalu ‘heart-feeling’ atau terlalu ‘soft-feeling’, kita bukan melihat itu, harusnya kita melihat itu sebagai faktor sosial yang terjadi di masyarakat,” kata Queency.

Pemateri pertama, Queency Gloria Sumeke S.H, LL.M, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi (FH Unsrat). (Foto: Ridho L Tobing)

Queency berharap, sosialisasi mengenai perlindungan dan penegakan hukum terkait hal ini bisa dimulai dari para peserta CLCC yang terdiri dari para mahasiswa dan pelajar.

“Diharapkan peserta itu dapat mempunyai pemahaman yang jelas terkait undang-undang yang berlaku, aturan formalnya itu bagaimana, supaya nanti kedepan, ketika mereka sudah tahu apa saja yang diatur dalam undang-undang terkait kesehatan mental seseorang, sanksi-nya apa, aksi-aksinya apa dan seperti apa, ketika mereka sudah tahu seperti itu, maka diharapkan mereka bisa memberikan informasi tersebut kepada masyarakat,” gugah Queency.

“Informasi ini bisa digunakan anak-anak SMA yang hadir saat ini untuk disampaikan dilingkungan sekolah, supaya tidak terjadi Cycber Bullying, dan bagaimana pemahaman ini juga dapat mereka berikan ke tingkat yang paling kecil, yaitu keluarga,” pesan Queency.

“Yang paling penting sebenarnya adalah ketika terjadi gangguan mental kepada seseorang, kalau dalam istilah hukumnya ODGJ, Orang Dalam Gangguan Jiwa, sebenarnya langkah kita adalah seperti apa, itu yang menjadi penting. Kita melihat ada orang seperti itu harusnya kita laporkan, jangan kita biarkan, jangan kita tinggalkan, bisa ke Dinas Sosial, ke Lembaga Bantuan Hukum, atau ke kampus-kampus, juga ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), itu dibawa ke Kepolisian,” kunci Queency.

Selanjutnya, sisi psikologis hukum terkait perlindungan kesejahteraan mental, dipaparkan oleh Pemateri kedua, Rachman Febrianto, M.Psi, seorang Psikolog dan Akademisi dari Universitas Negeri Manado (Unima).

Rachman membawakan materi bertajuk, “Mental Health Awareness and Help Seeking Empowerment in Gen Z: A Preventative Approach to suicide”, yang dalam bagian dari materinya memaparkan tentang, tiga hal krusial yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang.

“Ada tiga hal, ketika kita berbicara tentang kesejahteraan psikologis, yaitu, pikiran, perilaku dan emosi. Jadi ketika ketiga hal itu menjadi seimbang, tentu output-nya perilaku menjadi lebih baik lagi,” ungkapnya.

“Namun, ketika pikiran kita mungkin terlalu banyak, tertekan, emosi kita juga meledak-ledak, tentu bentuk perilakunya adalah maladaptif,” imbuhnya.

Menarik, Sang Psikolog mengungkapkan bahwa kecenderungan perilaku bullying, bisa saja diakibatkan oleh perlakuan bully yang mungkin pernah dialami oleh para pelaku sebelumnya.

“Pelaku bullying, boleh jadi mereka adalah korban bully sebelumnya. Akhirnya ketika mereka itu sudah tertekan, dan pernah mengalami bully, mereka membalas dengan tindakan bully kepada orang lain, yang mungkin mereka rasa lebih inferior, karena mereka merasa sudah berada diposisi superior,” ungkap Rachman.

“Ini sudah seperti lingkaran sebenarnya, bagaimana korban dan pelaku bully, harusnya dua-duanya itu kita tangani, bukan hanya fokus kepada korbannya saja, tapi pelaku,” ujarnya.

Karena itu, dirinya berharap, masyarakat bisa lebih saling peduli terhadap kesejahteraan mental orang lain, dan juga diri sendiri.

“Ketika kita berbicara tentang kesejahteraan psikologis, saya harap masyarakat juga mulai mengenal tanda-tanda yang dimulai dari diri mereka sendiri. Tanda-tanda ketika mereka stres, ketika mereka depresi, ketika mungkin mereka ‘abuse’, supaya dari tanda-tanda yang muncul, itu tidak keterusan, menjadi sebuah tindakan yang lebih ‘abuse’, supaya ketika mereka membutuhkan bantuan, baik itu bantuan hukum, bantuan psikologis, segera mencari bantuan kepada profesional, kepada psikolog, dokter di rumah sakit yang sudah ada,” jelasnya.

“Tanda-tanda itu penting, karena itu alarm, apalagi kalau di psikologi, alarm tubuh, jangan sampai sudah terjerat hukum, baru sadar dan menyesal. Itu nanti bukan jadi bantuan psikologis, jadi bantuan hukum itu nantinya,” cetusnya.

Rachman juga mengungkapkan, mengapa Generasi Z saat ini memiliki kecenderungan, rentan terhadap permasalahan psikologis.

“Jadi tadi kita berbicara tentang kesehatan psikologis untuk Gen Z. Kenapa mereka itu sekarang kayak mengalami mental illness atau permasalahan psikologis, karena memang mereka hidup, dimana internet itu menjadi overload, informasi itu ada disana. Akhirnya perbandingan diri, scrolling, banyak waktunya itu habis disana, di media sosial, membandingkan diri dengan orang lain, membandingkan media sosialnya dengan media sosial orang lain, akhirnya itulah yang menjadi tekanan, itu bisa menjadi faktor pemicu,” terang Rachman.

Salah satu cara mengatasi hal tersebut adalah dengan dengan teknik Mindfulness. “Bagaimana untuk menekan itu? Kita bisa lakukan itu, misalnya dengan teknik mindfulness, kita fokus hari ini, kita fokus di sini, kita merasakan ‘here and now’. Jadi kita merasakan apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, sekarang, supaya pikiran kita nggak kemana-mana,” kata Rachman saat berbagi tips dengan para Gen Z yang hadir pada kegiatan tersebut.

Pemateri kedua, Rachman Febrianto, M.Psi, Psikolog Universitas Negeri Manado (Unima). (Foto: David L Tobing)

Rachman juga mengapresiasi ALSA LC Unsrat atas ide untuk mengangkat isu sosial kemasyarakatan tentang kesejahteraan mental ini dalam forum CLCC tahun ini.

“Ini menjadi kegiatan yang bagus, yang baik, karena ini seperti menggabungkan antara psikologi dan hukum, bagaimana hukum memandang kesejahteraan psikologis semua, karena itu memang hak semua orang untuk sehat,” hatur Rachman.

Apresiasi yang sama juga diungkapkan BEM FH Unsrat, yang turut hadir dalam forum akademik ALSA Unsrat siang itu.

“Kami dari BEM sangat bangga dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh ALSA LC UNSRAT, dimana ALSA LC UNSRAT tidak hanya membahas isu hukum yang sedang hangat saja, tetapi juga dikaitkan dengan isu kesehatan mental,” ungkap Plt. Sekretaris BEM FH Unsrat, Andrew Eliezer Lanoh.

“ALSA berhasil membuat kegiatan yang bisa menjadi inspirasi bagi organisasi mahasiswa lainnya yang berada di lingkup Fakultas Hukum UNSRAT. Kiranya kegiatan seperti ini dapat terus berkelanjutan dan tidak hanya berhenti disini,” ucapnya.

Dengan diadakannya ALSA CLCC ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan sosial kemasyarakatan di Indonesia, dengan manfaat yang bersifat berkelanjutan kepada masyarakat sekitar.

Di samping itu, diharapkan juga dengan diadakannya kegiatan ALSA CLCC ini, akan semakin meningkatkan eksistensi ALSA sebagai organisasi mahasiswa hukum se-Asia dikancah nasional.

ALSA, Always Be One!

 

Exit mobile version