Manado, SUDARA.ID – Gubernur Sulawesi Utara, Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus SE, menandatangani perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, terkait penerapan pidana kerja sosial berbasis restorative justice, bagi pelaku tindak pidana, yang didasarkan pada perubahan besar sistem hukum Indonesia melalui KUHP baru, UU No. 1 Tahun 2023, yang merupakan bagian dari pelaksanaan program nasional yang mendorong pembinaan pelaku tindak pidana melalui pendekatan yang lebih konstruktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Penandatanganan kolaboratif tersebut dilakukan bersama Kajati Sulut, Jacob Hendrik Pattipeilohy, dan turut disaksikan Direktur A pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Dr. Hari Wibowo, di Wisma Negara Gubernuran Bumi Beringin Manado Rabu (10/12/2025).
Terkait pidana kerja sosial ini, Kajati dalam bagian dari sambutannya menjelaskan, bahwa saat ini model pemidanaan tidak lagi berorientasi semata pada penerapan kurungan badan, tetapi lebih kepada pemulihan sosial, pemberdayaan, dan pembinaan terhadap pelaku tindak pidana.
“Pidana kerja sosial bukan sekadar hukuman alternatif. Ini adalah instrumen baru yang mendorong keadilan yang lebih humanis dan edukatif,” ujar Kajati.
Kajati juga menjelaskan, bahwa dalam pelaksanaannya, Pidana Kerja Sosial ini membutuhkan wadah yang lebih luas, sehingga membutuhkan kemitraan yang memiliki cakupan sumberdaya yang lebih besar pula, yaitu Pemerintah Daerah.
“Keberhasilan pelaksanaannya tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus dibangun melalui kemitraan yang kuat antara kejaksaan dan pemerintah daerah,” ungkap Pattipeilohy.
Untuk itu kata Kajati, dibutuhkan komitmen kuat yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, dalam hal kesediaan Pemerintah Daerah dalam menyiapkan berbagai fasilitas dengan lingkungan yang kondusif, sebagai wadah pembinaan bagi para pelaku tindak pidana, yang pelaksanaannya dapat juga berdampak positif bagi masyarakat.
“Unsur-unsur penting seperti ketersediaan lokasi kegiatan, fasilitas pendukung, pengawasan lapangan, pembentukan SOP, hingga tim teknis daerah harus disiapkan secara matang agar implementasi kebijakan ini berjalan konsisten dan tidak menimbulkan hambatan baru di lapangan,” ujar Kajati.
“Pendekatan ini jauh lebih selaras dengan nilai restorative justice, yakni memberikan dampak konkret bagi masyarakat sekaligus membuka ruang perbaikan bagi mereka yang berhadapan dengan hukum,” lanjutnya.
“Seluruh pelaksanaan pidana kerja sosial tetap harus menjaga martabat manusia, menghindari tindakan yang merendahkan, serta menjunjung profesionalitas aparat,” tandasnya.
Memahami hal tersebut, Gubernur Yulius Selvanus dalam bagian dari sambutannya, memberikan apresiasi atas diberlakukannya penerapan pidana kerja sosial, yang menurutnya memulihkan serta merubah mental para pelaku tindak pidana, khususnya yang masih dalam usia produktif, kearah yang lebih baik, dan nantinya bisa bersosialisasi dengan baik di tengah kehidupan bermasalah.
“Kesepakatan ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah langkah strategis untuk menghadirkan penegakan hukum yang efektif dan memberikan ruang pemulihan bagi para pelaku,” ujar Gubernur..
“Pidana kerja sosial bukan hanya instrumen hukum, tetapi ruang pembinaan yang dirancang agar pelaku tindak pidana dapat memperbaiki diri tanpa harus terpisah dari keluarga maupun lingkungan sosialnya,” lanjutnya.
Program inovatif ini pun disambut Gubernur dengan menyatakan kesiapan Pemprov Sulut untuk menyediakan fasilitas dan sarana pendukung.
“Alternatif pemidanaan ini dapat mengurangi kepadatan lembaga pemasyarakatan sekaligus mempercepat proses reintegrasi sosial, Pemerintah daerah, siap menyiapkan lokasi kerja, fasilitas pendukung, serta peluang pemberdayaan melalui perangkat daerah hingga balai pelatihan,” ucap Gubernur Yulius Selvanus.
Gubernur juga memastikan semua sarana fasilitas yang disediakan akan menjunjung tinggi martabat dan hak asasi manusia.
“Walaupun mereka dijatuhi hukuman, hak asasi mereka tetap dihargai. Dengan pendekatan ini, kita berharap mental dan sikap generasi kita dapat berubah ke arah lebih baik,” tandasnya.
Pernyataan Gubernur ini sekaligus menegaskan komitmen Provinsi Sulawesi Utara untuk mendukung penuh penegakan hukum yang lebih progresif, yang dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, serta mendukung transformasi besar sistem pemidanaan nasional.
Perjanjian Kerjas Sama (PKS) atas kesiapan Pemprov Sulut dalam memfasilitasi pelaksanaan program ini selanjutnya diteruskan dalam bentuk PKS yang sama antara Pemerintah Daerah dan Kejaksaan Negeri dari 15 Kabupaten/Kota se-Sulut.
Diinformasikan, bahwa Pasal 85 KUHP Nasional menjelaskan bahwa pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 tahun, dan hakim dapat menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Dengan terbitnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), merupakan suatu gebrakan perubahan dalam paradigma pemidanaan di Indonesia, berorientasi pada paradigma hukum pidana modern, yakni keadilan korektif yang ditujukan kepada pelaku, keadilan restoratif yang ditujukan kepada korban, dan keadilan rehabilitatif baik yang ditujukan kepada pelaku maupun korban.
Kemudian dalam pelaksanaan pengawasan terhadap pidana kerja sosial dilakukan oleh Jaksa dan pembimbingan dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
















