Manado, SUDARA.ID – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Manado menghadirkan saksi-saksi berikut 2 saksi ahli pada sidang kedua perkara tindak pidana pemilu politik uang (money politic) dengan terdakwa Liempepas bersaudara, CL alias Christovel dan IWL alias Indra di Ruang Sidang Hatta Ali Pengadilan Negeri (PN) Manado, Senin (10/6/2024)
Setidaknya ada 8 saksi dihadirkan Tim JPU yang dipimpin Kasie Pidum Kejari Manado Taufiq Fauzi untuk menyampaikan keterangan terkait bagaimana kronologis terjadinya dugaan tindak pidana pemilu politik uang tersebut di persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Iriyanto Tiranda SH MH bersama Hakim Anggota 1 Mariany R Korompot SH dan Hakim Anggota 2 Ronald Massang SH MH.
Salah seorang saksi, Hesly Marentek, sesuai dengan materi perkara yang ditanyakan Jaksa menjelaskan, bahwa dia mengetahui tentang peristiwa tersebut pada tanggal 11 April 2024 dari media sosial dan juga video yang diperolehnya dari seorang saksi lain bernama Andreas Runtuwene, dimana video tersebut berisikan adegan bagi-bagi uang di Sindulang Dua lingkungan I, sehingga dia kemudian mengajaknya bertemu.
Dalam kronologi selanjutnya, saksi Marentek mengatakan, “Andreas mengakui adanya kejadian itu, dan menyerahkan bukti bahwa dia menerima uang yang diisi dalam amplop dalam bentuk pecahan seratus ribu, serta ada stiker yang bergambar IWL dan CL, juga bertemu dengan saksi Petrus Samuri yang mengaku menerima uang,” beber Hesly Marentek.
Sementara saksi berikutnya, Petrus Samuri mengakui telah tiga kali menerima uang. Pertama ditransfer dari IWL Rp300 ribu, kedua dari tim yang dimasukkan dalam amplop bersama-sama orang lain Rp.300 ribu pada 11 Februari, dan dari Riyanti Datau sebanyak Rp.40 ribu. Saksi Samuri juga mengaku telah mencoblos IWL dan CL saat pemilihan legislatif lalu. Samuri juga mengaku dirinya juga ada dalam grup WA yang dibentuk terdakwa CL alias Cherly.
Sedangkan saksi selanjutnya, Heard Runtuwene, anggota Komisioner Bawaslu Manado, mengatakan berprosesnya dugaan tindak pidana Pemilu yang melibatkan tiga terdakwa ini di Bawaslu Manado, adalah pelimpahan dari Sentra Gakumdu RI.
Saksi Runtuwene menyampaikan bahwa pelimpahan dari RI ini diterimanya di kantor Bawaslu Provinsi Sulut pada tanggal 22 April 2024, dan meregisternya di hari itu juga.
“Perkara ini dilaporkan pada 17 April di Gakumdu pusat dan setelah melalui pengkajian maka dianggap sudah memenuhi semua syarat formil dan materil, sehingga dilimpahkan ke Manado untuk diproses lanjut dan bergulir sampai ke pengadilan dengan ikut semua ketentuan dalam regulasi pemilu” ucapnya.
Dalam kesaksiannya, Runtuwene menegaskan bahwa, oleh undang-undang, Bawaslu berwenang memproses setiap jenis pelanggaran dan pidana pemilu, sampai waktu sebelum pelantikan para calon terpilih sebagai anggota DPRD, DPRD Provinsi dan DPR RI.
Setelah itu, saksi Andreas Runtuwene yang diawal disebut saksi Hesly Marentek, mengakui telah menerima uang dari hasil bagi-bagi amplop, termasuk juga dari Riyanti Datau, meskipun dirinya juga mengakui bahwa dirinya tidak mencoblos caleg IWL dan CL, tetapi memilih Vicky Lumentut dan Hilary Brigita Lasut.
Sehubungan dengan keterangan para saksi, ketiga terdakwa yang didampingi Penasihat Hukum Kris Tumbel Cs, kompak menyangkal semua hal tersebut dengan mengatakan apa yang disampaikan para saksi tidaklah benar.
Tim JPU juga menghadirkan dua saksi ahli dalam persidangan tersebut, diantaranya Komisioner Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Dr. Ida Budhiati dan Dr. Titi Anggraini, pakar hukum pidana pemilu yang juga mantan Ketua Perludem.
Dalam keterangannya dibawah sumpah, saksi ahli Dr. Ida Budhiati yang juga berpengalaman sebagai Komisioner KPU Jawa Tengah 2 periode, menyampaikan adanya tindak pidana pemilu dalam perkara ini, bila dikaitkan dengan pasal yang disangkakan kepada para terdakwa, yaitu pasal 280 huruf c UU nomor 7 tahun 2018 kemudian sampai ke pasal 523 ayat 1,2 dan 3.
“Hal itu ditegaskan dalam pasal 280 huruf j UU nomor 7 tahun 2017, bahwa pelaksana peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu, pasal itu kemudian katanya dikaitkan dengan pasal 523 ayat 1, 2 dan 3, juga ada ancaman hukumannya disana,” sebut Ida.
Ida Budhiati juga menjelaskan bahwa pelapor yang memiliki legal standing untuk melaporkan suatu tindak pidana pemilu adalah WNI yang punya hak pilih, Pemantau dan Penyelenggara Pemilu, termasuk didalamnya tentang laporan politik uang dalam pemilu.
Kehadiran saksi ahli dalam persidangan ini memicu pertanyaan tentang kedaluwarsanya sebuah perkara pidana pemilu yang dilontarkan oleh pihak terdakwa yang diwakili kuasa hukumnya, Kris Tumbel SH, terkait Perma nomor 1 tahun 2018 ayat 3, bahwa Pengadilan Negeri memeriksa dan memutuskan pidana pemilu paling lambat tujuh hari setelah dilimpahkan oleh penuntut umum.
Dalam bagian dari penjelasannya menjawab pertanyaan tersebut, Saksi ahli mengatakan bahwa penentuan waktu itu mengikuti SOP di pengadilan.
Masih terkait Perma nomor 1 tahun 2018 ayat 3, saksi ahli kedua, Dr. Titi Anggraini, pakar hukum pidana dari UI, dibawah sumpah dalam bagian dari keterangannya, menjelaskan bahwa batas waktu tujuh hari yag dimaksudkan untuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana pemilu, adalah setelah sidang pertama dimulai.
“Itu batas waktu tujuh hari, bukannya saat dilimpahkan ke PN, sebab ada aturan dan prosedur tetap di pengadilan yang mengatur waktu, seperti pemanggilan saksi dan lainnya, maka yang dimaksudkan, tujuh hari, adalah tujuh hari setelah sidang pertama dimulai atau persidangan,” jelas Titi Anggraini.
Selanjutnya, sehubungan dengan masa waktu pelaporan tindak pidana pemilu yakni tujuh hari setelah diketahui pada tiap tahapannya oleh semua yang punya kedudukan hukum, sebagaimana pasal 454 ayat 6 UU nomor 7/2017, Titi Anggraini menyampaikan bahwa, tidak semuanya bisa dilaporkan pada tahapannya, misalnya ada politik uang saat pencoblosan dan untuk melengkapi bukti lewat waktu pemilihan, maka bisa dilaporkan sehari atau dua hari setelah tahapan pencoblosan.
“Tetapi maksudnya juga kembali pada pasal 454 ayat 6 UU nomor 7/2017, yakni paling lambat tujuh hari setelah diketahui adanya pidana pemilu, jadi jika diketahui sudah bukan pada tahapan pencoblosan atau perhitungan suara, tetapi masih dalam tahapan pemilu secara umum, maka masih bisa dilakukan, selama masih dalam masa tujuh hari setelah diketahui,” katanya.
Dia pun menegaskan, bahwa yang penting tujuh hari setelah diketahui, dan harus harus dipahami tahapan pemilu didesain seperti itu.
Dia juga menjelaskan, “Mengenai pidana pemilu terkait politik uang, diatur dalam pasal 280 huruf j UU nomor 7/2017, serta kaitannya dengan pasal 523 ayat 1,2 dan 3. Lalu mengenai pasal 523 ayat 1, 2 dan 3 termasuk dalam syarat formil, karena sudah menjanjikan saja sudah terpenuhi unsurnya,” rujuk Titi di persidangan.
Di jadwal persidangan berikutnya, giliran Tim penasihat hukum Kris Tumbel dan rekan yang akan menghadirkan para saksi dari pihak terdakwa CL dan IWL.